Archive for October 2012

Melodi

No Comments »


Dirinya berlari menjauh. Kukejar dan terkejar. Tawa liciknya bermain. Menoleh muka lugu namun penuh pilu. Kuraih tangan dinginnya. Lembut bagaikan ukiran Angelo. Kutarik, dan kudekap. Nyata dalam dekapan.

Seakan tak mau pergi. Rasa terus mendekap erat-erat. Tak mau dilepas. Semakin erat. Angin bersiul, burung  pun terdengar bersenandung.

Senandung. Melingkar. Spiral. Tawa-tawa licik.
Senandung. Berwarna. Bermelodi.
Senandung.. dan Lalu mati. Diam. Hening.

Apa aku ini?


__________________________________________________________________________
Listen : Schumann - Dreaming
   

Emmahaven 1899

No Comments »


Lengkingan cerobong uap selalu menarik perhatian. Bunyi nyaringnya memantra kaki-kaki untuk berlari mendekat . Bak dipanggil tuan-tuan londo, Aku berlari secepat mungkin. Melihat kapal uap yang telah selesai bermuatan.  Tentunya Abak dan kerabat kampung telah selesai bekerja. Memuat kopi ke dalam kapal uap nan dibawa pergi ketengah lautan. Entah kemana.

Tuan-tuan londo berseragam mahal, tampak bergegas turun dari bendi. Beralih berlari menuju kapal. Ingin pula rasanya mencoba masuk ke dalam kapal uap yang sudah beberapa lama, rutin aku saksikan dan dengarkan. Lengkingan cerobong asapnya yang indah. Gerakannya yang anggun menjauh menuju hilang. Namun bagaimana mungkin. Aku anak budak tukang angkut kopi, yang setiap harinya dihardik. Oleh  tuan-tuan londo dan mandor-mandor pribumi nan berlagak bak berkulit putih pula.

Emmahaven terasa kosong. Hanya kapal uap melengking ini saja yang memenuhi otakku. Tak ada lagi geretak bunyi bendi-bendi berlalu lalang. Suara bising, hardikan, celotehan para budak, cino, dan tuan londo. Seperti biasanya.

Kapal kembali melengking, dan perlahan-lahan mulai bergerak. Melepaskan sandaran di bahu Emmahaven. Tiap kali dan hari, perasaan ini turut pula melengking. Berteriak kencang. Bertanya mengapa aku tak bisa ikut bersama  Apa mungkin karena kulit coklat legam dan pakaian goni. Entahlah. Semakin besar jarak kapal denganku, semakin besar pula inginku untuk berada di bawah kepulan-kepulan asap. Cantik.

Tak berdaya sekarang. Apa yang salah?  Mungkinkah esok, esok dan esoknya lagi berdaya? Aku manusia lemah.

Hanya  harapan yang tersisa kuat. Tak pernah jatuh. Tertancap kokoh bagaikan Pulau Apenberg di sebelah sana. Kaki kaku terdiam. Kulit coklat berpacu menjadi hitam. Tetap tinggalah aku dan Pulau Apenbergku. Bekal untuk esok hari lagi.

______________________________________________________________________

Listen : La Chanteuse Claudia - Surabaya Johnny

 


Kabur

No Comments »


Dulu dirinya pernah tau. Pernah dengan sangat lantang menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang wanita muda berbando ungu. Jelas. Dia memandanginya, kabur. Gambar tua dibingkai kayu motif. Dirinya berusaha mendekat. Kaki-kaki keriput tak mau berkompromi. Memang tak mau berkompromi. Cemburu dengan keberadaan roda-roda besar yang diduduki tuannya. Namun tangan-tangan masih mau membantu dengan menggulir para roda. Agak jelas dilihatnya. Wanita berbando ungu. Dengan bibir merah meruput ke atas. Tersenyum manis.

Dirinya ingin pula tersenyum manis. Namun kali ini pikirnya tak mau berkompromi.  Kabur. Semua kabur. Senyuman manis itu. Seperti apa lihatnya. Seperti apa wujudnya. Bagaimana dia meruput. Apa?

Pikirnya bertanya, dan pikirnyapun berusaha menjawab. Bingung. Lalu bagaimana? Apa?

Namun ada sesuatu yang bergejolak. Begitu gampang terasa. Seakan aliran darahnya merambat cepat bak kacam disirami asterix. Merambat ke hati. Memandangi senyuman manis itu. Badanya bergeming. Siapa?

Mungkin  kaca-kaca sudah kabur. Kenangan-kenagan sudah membeku mengeluarkan embun. Kabur. Tak nampak jelas apa yang ada dibaliknya. Namun hatinya masih merasakan getar melihat senyum manis. Bibir merah meruput. Apa yang hilang? Apa yang pergi? Pria lunta.

____________________________________________________________________

Listen : Lianne La Havas - Gone