Archive for October 2009

Buku Kusam Setengah Berisi

No Comments »

Buku kusam dimana berawal butir-butir debu waktu dengan lambat mulai menyelimuti segala ruang lembaran kertas itu. Lembaran itu tidak kosong. Setengah berisi. Halaman dan halamannya diisi setengah tulisan. Entah tulisan apa. Entah lembaran apa. Entah buku apa. Tiada yang tahu. Hanya pena bertinta hitam yang bisu dan bersenang pula dengan kehadiran butir-butir debu. Tiada yang tahu itu sepi kenapa. Dan memang sepi itu yang mengizinkan butir-butir debu bermain dengan buku kusam lembaran setengah berisi. Serta pena hitamnya. tidak dengan tulisannya.

Tahulah sepi itu kenapa. Ditengah ramainya pepohonan di hutan. Rumah itu seperti pendatang asing yang hampir dengan tegap berdiri. Tidak ada pendatang asing lain disekitarnya. Hanya ada dia dan pohon-pohon hijau yang menjadi penjaganya. Walupun pohon-pohon hijau sang tuan tanah, dia tetap menjadi penjaga pendatang asing itu. Memang sudah jalan hidupnya untuk selalu menjadi penjaga dan pembantu. Selalu dijajah pendatang asing. Semakin mendekat, rumah yang hampir dengan tegap berdiri itu ternyata sudah tidak tegap berdiri lagi. Sekali lagi waktu menunjukan taringnya. dan buku kusam lembaran setengah berisi berdiam di rumah tua itu. beserta pena hitamnya. sekarang dengan tulisannya.

Wajah putih pucat tak bergerak dan mungkin berekspresi, tertidur dengan tak teratur di rumah tua di hutan itu. Dikelilingi merah pekat berbau besi yang menyeruap dari pergelangan tangan kirinya, wajah putih pucat itu tampak kacau dan mungkin berekspresi. Ekspresi mati. Hanya ada dia sendiri di rumah tua itu beserta pecahan kaca yang entah pecahan apa dan ruangan yang begitu buruk lantak. Tampaknya salah satu pecahan itu merupakan seniman pembentuk ekspresi mati. Serta Buku kusam lembaran setengah berisi. beserta pena hitamnya. Sekarang masih dengan tulisannya.

Walaupun kusam dan bersahabat dengan butir-butir debu dan ditemani oleh pujangga berekspresi mati, buku itu tidak ikut mati. Tulisan-tulisan didalamnya akan terus bercerita mengenai rumah tua, hutan-hutan, buku kusam, pena hitam, wajah putih pucat, pecahan kaca, dan semua penyebab sepi. Pujangga berekspresi mati telah merangkai tulisan di buku kusam lembaran setengah berisi Gila dan berisi Mati. dan buku kusam lembaran setengah berisi gila dan berisi mati itu terus bermain dengan butir-butir debu dan waktu. Sampai sepi binasa oleh waktu, dan waktu ketika tulisan-tulisan itu terbaca dan dimengerti kembali. Beserta pena hitamnya.

___________________________________________________________________________

Listen : Angus and Julia Stone - A Book Like This
   

Hitam Putih Pelangi

No Comments »

“Hei, biar aku bantu!”

Udara masih pagi. Hujan rintik kecil sudah mulai menghilang terbawa angin. Matahari pun sudah mulai memunculkan cahayanya. Sepertinya matahari pagi tampak begitu ceria karena telah kembali menghangatkan dengan cahayanya yang lembut. Aku berjalan keluar dari ruanganku dan mengalir menyusuri jalan yang sudah selalu aku pandangi tadi pagi. serta pagi pagi sebelumnya. Kuarahkan langkah dan pikiranku menuju toko ritel yang ada di tepi jalan dua blok dari tempatku. Sesuai dengan rencana yang baru tiba-tiba saja aku putuskan tadi pagi. Aku akan membeli beberapa keperluan setelah itu baru menyegarkan otak dan mencari inspirasi untuk tulisanku di taman kota.

Suasana toko tidak terlalu ramai waktu itu. Mungkin karena pagi. Kulangkahkan kaki menuju masuk ke toko ritel dan mulai mengambil serta memilih barang dan bahan yang memang aku butuhkan saja. Setelah semua selesai, kuarahkan lagi kakiku menuju kasir yang terdapat di sebelah pintu masuk toko untuk membayar barang dan bahan yang telah selesai aku pilih. Ada dua orang di depanku. Wanita tua yang sibuk mengeluarkan belanjaan kosmetiknya di kasir serta pemuda tegap yang tampaknya hanya memilih roti serta minuman saja untuk belanjaannya. Sembari menunggu, ku lepaskan pandaganku ke sekeliling dan jatuh ke pemandangan di luar toko. Toko ini memang berada di tepi jalan umum. di bahu jalan, tampak penjual koran dan majalah dengan wajah bosan menunggu pembeli yang haus akan huruf-huruf, seorang ibu yang tengah menarik tangan anaknya dengan tegas untuk berjalan lebih cepat menyusuri bahu jalan, dan seorang gadis yang sepertinya tidak asing bagiku.

Wajah gadis yang tidak asing itu sepertinya melukiskan noda gelisah di rautnya. Dan noda itu, entah kenapa sangat menggangguku. Tidak biasanya wajah putih polos itu menampakan noda semacam itu. Cepat-cepat aku membayar belanjaan ku dan berjalan setengah berlari menuju tempat gadis lukisan itu. Aku sangat penasaran dengan noda itu.

Gadis penjual lukisan itu berjalan hendak menyeberangi jalanan yang sudah terlalu ramai dengan kendaraan. Tampak ragu-ragu melihat ke kiri dan ke kanan.

“Hei, biar aku bantu!” kataku setengah berteriak ke arahnya. Dia Tampak ragu-ragu dan setengah kaget mendengarnya. Ku lepaskan senyumanku ke arahnya. Dan dia balik tersenyum. Setengah tersenyum. Ternyata senyuman setengahnya itu cukup manis dan membuatku agak canggung. Dan dia bersama aku berjalan hati-hati menyeberangi sungai kendaraan pagi itu. itu pertama kalinya aku bersuara kepada gadis yang selama ini hanya selalu aku lihat di saat pagiku bersama dengan lukisan-lukisannya.

_________________________________________________________________________

Listen : Tin Hat - Osbome Avenue