Hitam Putih Pelangi

1 Comment »

Perkenalan Pertama

Trotoar seberang jalan tampak sama saja dengan di depan toko ritel. Beberapa genangan air bekas hujan mewarnai ubin-ubin yang tersusun memanjang. Orang tetap ramai berlalu lalang dengan berbagai kesibukannya serta pedagang kaki lima yang kelihatannya selalu tidak bersemangat namun sibuk dengan barang dagangannya. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian utamaku saat ini. Gadis yang berjalan bersamaku ini sudah mencuri pikiranku sejak aku memperhatikan raut wajahnya di depan toko ritel. Senyuman yang sempat terukir di raut wajahnya telah digantikan oleh gelisah. Sama gelisahnya dengan yang sebelumnya. Hal ini membuatku tidak enak hati. Tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu sehingga dia tidak begitu mengacuhkan aku yang berjalan disebelahnya.

"Tumben ya, Hari ini turun hujan." Kataku membuka pembicaraan dengan agak canggung. Dia hanya diam. Tidak menjawab. "Haloo....Apa ada orang disini?" Teriakku pelan. Teriakan itu cukup mengagetkannya. Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya. "Oh..iya, maaf saya tidak mendengar, kenapa?" jawabnya agak sedikit malu namun tetap saja raut wajahnya tidak berubah.
"Sudahlah!, tidak penting, sepertinya kau memikirkan sesuatu" jawabku. Dia diam dan memalingkan wajahnya ke jalanan.
"Ngomong-ngomong, terima kasih telah membantuku menyeberangi jalanan Akhir-akhir ini jalanan sangat ramai. " katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku berbalik tersenyum.
"Kau mau ke arah mana?" Tanya gadis itu. Mungkin baru sadar kalau aku berjalan ke arah yang sama dengannya.
"Aku mau ke taman kota untuk beristirahat sebentar, kau sendiri?"
"Kerumah, 2 blok dari taman kota. Arah kita sama." jawabnya singkat dan kembali sibuk dengan dirinya sendiri.

Aku dan gadis itu berjalan dalam diam beberapa saat. Dia sibuk dengan pemikirannya, dan akupun malas mengganggu pemikirannya tersebut. Raut wajahnya tetap segelisah tadi. Agak tidak mengenakan berjalan dalam diam seperti ini, akhirnya akupun berusaha membuka pembicaraan lagi.

"Bagaimana lukisanmu? Kau sepertinya tidak menjual lukisan hari ini?" kataku
"Bagaimana kau tahu kalau aku menjual lukisan?" Jawabnya heran, setengah kaget.
"Aku selalu melihatmu dan lukisan-lukisanmu setiap pagi didepan flatku. Aku tinggal di Flat Tua tepat di depan tempat kau memajang lukisan setiap hari" jawabku
"Oh,,ya pantas aku seakan-akan pernah melihatmu. tapi aku tidak tahu dimana. Ternyata kau tinggal di depan flat itu" jawabnya
"Itukah yang kau pikirkan dari tadi?" kataku. Gadis itu tertawa kecil mendengarnya. Tawa itu sangat manis di wajahnya.
"Tentu tidak, aku tidak akan terlalu memikirkan hal itu TUAN" katanya sambil mengarahkan pandangan melucu kearahku. Akupun tertawa.
"Dari tadi kita belum berkenalan. Sampai-sampai kau memanggilku TUAN" kataku, tersadar kalau ternyata aku belum tahu nama gadis lukisan itu. Dia tersenyum.
Kuangkat tangan kananku kearahnya, "Aku Azul" kataku memperkenalkan diri ketika nada telpon genggamnya memecah suasana. Gadis itu terkejut dan segera merogoh tas yang dibawanya untuk mencari sumber nada dan mengacuhkan tangan kananku.

Dia segera mengangkat telpon genggamnya disaat tangan kananku mulai aku turunkan. Agak sedikit menjauh dariku, dia berbicara penuh konsentrasi dengan telpon genggamnya. Aku tidak tahu siapa yang menelponnya dan apa yang sedang dibicarakannya. dan memang aku tidak ingin mengetahui hal itu. Yang aku tahu, dia hanya mengacuhkan perkenalanku.

Raut wajah gelisahnya kembali muncul. Tampaknya, telepon itu salah satu penyebab timbulnya noda gelisah diwajahnya. Serta sebelum-sebelumnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Gadis itu hanya diam mendengarkan telepon itu. dan aku hanya diam menunggu dan memperhatikan gadis itu. Beberapa saat, gadis lukisan itupun memutuskan telponnya dan dengan gusar serta mata masih berkaca-kaca dia berpaling ke arahku. Akupun ikut gusar melihatnya.
"Maaf, Aku harus pergi sekarang. Terima kasih telah membantuku menyeberang" katanya sambil terburu-buru berbalik arah ke arah toko ritel.
"Hei tunggu..." teriakku kearah gadis itu. Tapi dia tidak mengacuhkan teriakanku. Mungkin pikirannya membuat teriakanku tidak terdengar. Dia terus berlari menjauh. Berlari diantara banyaknya orang-orang yang berada di trotoar. Berlari diantara pedagang kaki lima yang sibuk dengan daganganya. Bingung. Aku terus memperhatikan dirinya menjauh. Menjauh dariku. Mataku seakan terikat dengan gadis lukisan itu. Aku pandangi gadis lukisan itu sampai dia benar-benar hilang dari penglihatan dan menyatu dengan kerumunan.

___________________________________________________________________________

Listen : Jeanne Moreau - Jeanne La Francaise
   

Samudera Dua Hati

No Comments »

Ada banyak hati di setiap ujung samudera. Hamparan biru tanpa batas serta angin yang membuat isinya bergoyang. Mungkin hanya senyum dan memang selalu senyum ketika setiap hati berpaling. Pertama kali. Dia berusaha membuat simpul manis di bibirnya. Sewaktu hati berusaha berpaling dari ingatan. Berpaling ke samudra.Tapi hanya sebentar. Simpul manis itu tidak jadi terbentuk. Matanya membiru seperti pantulan cahaya laut di depannya. Biru tak bisa memalingkan hatinya. Karena birupun sudah merajai didalamnya. Titik air mata sekarang telah bergabung bersama samudra. Menuju kemanapun. Entahlah.

Ada banyak hati di setiap ujung samudera. Namun ada dua hati yang sama sekarang ini. Yang satu di ujung yang lainnya. Namun kedua hati itu merasakan hal yang sama. Perasaan lemah, tidak berdaya. Mengapa harus ada samudera apabila hamparan biru inilah yang membuat hati yang satu dan lainnya tidak bertemu dan melampiaskan semua yang ada didalamnya. Hati ini berhubungan, tapi bisa bertemu. Tapi samudera tidak akan pernah kosong. Keduanya dipisahkan oleh hamparan biru tanpa batas serta angin yang membuat isinya bergoyang.

Mungkin pertemuan itu bukan yang pertama. Saat pertama kali pertemuan mata. Kedua hati langsung berbicara sama. Jantungpun menari-nari saat kedua hati saling bicara. Hati berbicara berbagai hal yang menarik hati lainnya mendengarkan. Bagaikan saat itu hanya ada dua hati di dunia. Yang berbicara sama dan saling menenangkan. Sejak bertemu, Sekian lama kedua hati tidak pernah merasa kekurangan. dan tidak pernah berpikir untuk pergi. Tapi, waktu yang melahirkan hidup selalu saja berkuasa. Mengapa kedua hati ini dipisahkan?. Yang berkuasa memang tidak akan pernah adil. dan pertemuan pertama tidak pernah berulang. Mungkin pertemuan itu bukan yang pertama.

Langkah kaki menjadi kuat. Suara hati dan hati saling melepaskan teriakan agar saling terdengar. Diantara hamparan biru yang luas. Diantara angin yang membuat isinya bergoyang. Masih tidak terdengar. Kaki sudah berlari menuju ketengah samudera. Kedua hati masih terus berteriak. Masih belum terdengar. Semuanya buta dan tuli. Karena hati dan teriakannya membuat gila. Samudera seperti tidak ada. Kedua hati sekarang menangis bercampur teriakan yang semakin membuat gila. Masih belum saja terdengar. Kedua hati Teriak. Angin, Biru, Lautan, langkah kaki, tarian jantung, Pertemuan pertama, air mata, hitam..................., Hamparan biru tanpa batas, dan angin yang membuat isinya bergoyang.

Ada banyak hati di ujung samudera. Tapi hanya ada dua hati di tengah samudera. Kedua hati berhasil bertemu. Hamparan biru tanpa batas menjadi pertemuan hati, Angin yang membuat isinya bergoyang mengarahkan kedua hati untuk saling bertemu. Angin atau teriakan hati itulah yang berhasil. Atau saja memang kedua hati sudah ditakdirkan untuk bertemu. Entahlah. dan apakah kedua hati masih bisa saling berbicara sekarang?. Tidak terdengar suara hati. Hanya ada suara angin, air, dan hewan-hewan. Suara Samudera. Hati mereka bertemu, diam ditengah Samudera. Dan hanya ada dua hati yang mati disana.

________________________________________________________________________

Listen : Lindsey Stirling - River Flows in You
   

Buku Kusam Setengah Berisi

No Comments »

Buku kusam dimana berawal butir-butir debu waktu dengan lambat mulai menyelimuti segala ruang lembaran kertas itu. Lembaran itu tidak kosong. Setengah berisi. Halaman dan halamannya diisi setengah tulisan. Entah tulisan apa. Entah lembaran apa. Entah buku apa. Tiada yang tahu. Hanya pena bertinta hitam yang bisu dan bersenang pula dengan kehadiran butir-butir debu. Tiada yang tahu itu sepi kenapa. Dan memang sepi itu yang mengizinkan butir-butir debu bermain dengan buku kusam lembaran setengah berisi. Serta pena hitamnya. tidak dengan tulisannya.

Tahulah sepi itu kenapa. Ditengah ramainya pepohonan di hutan. Rumah itu seperti pendatang asing yang hampir dengan tegap berdiri. Tidak ada pendatang asing lain disekitarnya. Hanya ada dia dan pohon-pohon hijau yang menjadi penjaganya. Walupun pohon-pohon hijau sang tuan tanah, dia tetap menjadi penjaga pendatang asing itu. Memang sudah jalan hidupnya untuk selalu menjadi penjaga dan pembantu. Selalu dijajah pendatang asing. Semakin mendekat, rumah yang hampir dengan tegap berdiri itu ternyata sudah tidak tegap berdiri lagi. Sekali lagi waktu menunjukan taringnya. dan buku kusam lembaran setengah berisi berdiam di rumah tua itu. beserta pena hitamnya. sekarang dengan tulisannya.

Wajah putih pucat tak bergerak dan mungkin berekspresi, tertidur dengan tak teratur di rumah tua di hutan itu. Dikelilingi merah pekat berbau besi yang menyeruap dari pergelangan tangan kirinya, wajah putih pucat itu tampak kacau dan mungkin berekspresi. Ekspresi mati. Hanya ada dia sendiri di rumah tua itu beserta pecahan kaca yang entah pecahan apa dan ruangan yang begitu buruk lantak. Tampaknya salah satu pecahan itu merupakan seniman pembentuk ekspresi mati. Serta Buku kusam lembaran setengah berisi. beserta pena hitamnya. Sekarang masih dengan tulisannya.

Walaupun kusam dan bersahabat dengan butir-butir debu dan ditemani oleh pujangga berekspresi mati, buku itu tidak ikut mati. Tulisan-tulisan didalamnya akan terus bercerita mengenai rumah tua, hutan-hutan, buku kusam, pena hitam, wajah putih pucat, pecahan kaca, dan semua penyebab sepi. Pujangga berekspresi mati telah merangkai tulisan di buku kusam lembaran setengah berisi Gila dan berisi Mati. dan buku kusam lembaran setengah berisi gila dan berisi mati itu terus bermain dengan butir-butir debu dan waktu. Sampai sepi binasa oleh waktu, dan waktu ketika tulisan-tulisan itu terbaca dan dimengerti kembali. Beserta pena hitamnya.

___________________________________________________________________________

Listen : Angus and Julia Stone - A Book Like This
   

Hitam Putih Pelangi

No Comments »

“Hei, biar aku bantu!”

Udara masih pagi. Hujan rintik kecil sudah mulai menghilang terbawa angin. Matahari pun sudah mulai memunculkan cahayanya. Sepertinya matahari pagi tampak begitu ceria karena telah kembali menghangatkan dengan cahayanya yang lembut. Aku berjalan keluar dari ruanganku dan mengalir menyusuri jalan yang sudah selalu aku pandangi tadi pagi. serta pagi pagi sebelumnya. Kuarahkan langkah dan pikiranku menuju toko ritel yang ada di tepi jalan dua blok dari tempatku. Sesuai dengan rencana yang baru tiba-tiba saja aku putuskan tadi pagi. Aku akan membeli beberapa keperluan setelah itu baru menyegarkan otak dan mencari inspirasi untuk tulisanku di taman kota.

Suasana toko tidak terlalu ramai waktu itu. Mungkin karena pagi. Kulangkahkan kaki menuju masuk ke toko ritel dan mulai mengambil serta memilih barang dan bahan yang memang aku butuhkan saja. Setelah semua selesai, kuarahkan lagi kakiku menuju kasir yang terdapat di sebelah pintu masuk toko untuk membayar barang dan bahan yang telah selesai aku pilih. Ada dua orang di depanku. Wanita tua yang sibuk mengeluarkan belanjaan kosmetiknya di kasir serta pemuda tegap yang tampaknya hanya memilih roti serta minuman saja untuk belanjaannya. Sembari menunggu, ku lepaskan pandaganku ke sekeliling dan jatuh ke pemandangan di luar toko. Toko ini memang berada di tepi jalan umum. di bahu jalan, tampak penjual koran dan majalah dengan wajah bosan menunggu pembeli yang haus akan huruf-huruf, seorang ibu yang tengah menarik tangan anaknya dengan tegas untuk berjalan lebih cepat menyusuri bahu jalan, dan seorang gadis yang sepertinya tidak asing bagiku.

Wajah gadis yang tidak asing itu sepertinya melukiskan noda gelisah di rautnya. Dan noda itu, entah kenapa sangat menggangguku. Tidak biasanya wajah putih polos itu menampakan noda semacam itu. Cepat-cepat aku membayar belanjaan ku dan berjalan setengah berlari menuju tempat gadis lukisan itu. Aku sangat penasaran dengan noda itu.

Gadis penjual lukisan itu berjalan hendak menyeberangi jalanan yang sudah terlalu ramai dengan kendaraan. Tampak ragu-ragu melihat ke kiri dan ke kanan.

“Hei, biar aku bantu!” kataku setengah berteriak ke arahnya. Dia Tampak ragu-ragu dan setengah kaget mendengarnya. Ku lepaskan senyumanku ke arahnya. Dan dia balik tersenyum. Setengah tersenyum. Ternyata senyuman setengahnya itu cukup manis dan membuatku agak canggung. Dan dia bersama aku berjalan hati-hati menyeberangi sungai kendaraan pagi itu. itu pertama kalinya aku bersuara kepada gadis yang selama ini hanya selalu aku lihat di saat pagiku bersama dengan lukisan-lukisannya.

_________________________________________________________________________

Listen : Tin Hat - Osbome Avenue