Archive for February 2009

Hitam

No Comments »

Seorang lelaki tua berbaju piyama garis duduk di atas kursi roda yang menopangnya di depan sebuah rumah sederhana. Disampingnya, berdiri seorang pemuda berpakaian rapi. Pemuda itu merunduk merendah, sehingga dia bertumpu di atas ke dua lututnya menghadap lelaki tua.
“Tuan Ed, ingatkah anda dengan kamera ini?”kata pemuda itu. Si lelaki tua diam membisu, terlihat jelas bahwa dia tidak bisa melihat apapun. Dia buta. Mungkin karena usianya yang sudah sangat tua sehingga dia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Pemuda itu meraih tangan Tuan Ed, dan meletakannya di atas kamera yang diperlihatkanya tadi. Tak ada reaksi apa pun.
Tuan Ed berumur 85 tahun. Dia sudah tidak bisa berjalan, buta, dan ingatannya mulai memudar. Umurnya yang lebih dari tiga per empat abad membuatnya seperti benda mati yang memiliki nyawa. Dia tidak bisa apa-apa lagi. Berkata, mendengar, melihat, berjalan, apapun.
“Ini kamera yang anda hadiahkan kepadaku sewaktu aku lulus dari kuliah. Tidakah anda bisa merasakannya? mengingatnya?”
Tak ada reaksi apa pun dari Tuan Ed. Diam. Tak bereaksi sekalipun. Pemuda itu merunduk. Air mata jatuh menitik ke lantai. Tanganya tetap memegang tangan Tuan Ed.
***
Hari itu hari senin di awal bulan Agustus. Hari dimana Suvan memulai semester akhirnya di kampus Universitas Padjadajran. Suvan mengambil Jurusan Jurnalistik.
“Bagaimana IP mu semester kemaren Suvan?” tuan Ed muncul ntah darimana dan menyapa Suvan.”Oh..Tuan Ed! Hmmm..Selamat pagi!” Suvan menjawab kikuk. “Selamat Pagi!” balas tuan Ed. “IP ku lumayan bagus Tuan Ed” jawab Suvan. “Lumayan? Hmmm…lumayan berarti kamu tidak puas dengan nilai mu sekarang.”
Suvan tersenyum kecil mendengarnya,“Begitulah!” balasnya.
“Kudengar hasil foto mu dimuat di Koran, kerja yang bagus Suvan teruskan” sambil berjalan meninggalkan Suvan. “Terima kasih Tuan Ed” Jawab Suvan.
Suvan sangat tertarik sekali dengan jurnalistik foto. Jurnalis Photographer merupakan cita-citanya. Dia belajar rutin dan berlatih dengan kamera usang. Dengan kamera usang yang body-nya rusak itu, dia belajar keras, dan megirimkan hasil jepretannya ke redaksi-redaksi.
“Mengapa kamu bercita-cita menjadi jurnalis photographer? Bukankah lebih banyak pekerjaan lain yang lebih bagus?” Tanya Mindy, teman kampus Suvan.” Itu pekerjaan yang mulia teman. Jurnalis merupakan pekerjaan yang sangat baik. Kita bisa merubah hitam menjadi putih!”
“Maksudmu?”
“Kamu tau maksudku!” Jawab Suvan.”Dan ingat, kita melakukan sesuatu harus dengan hati, begitu kata Tuan Ed” tambah Suvan berlari meninggalkan Mindy.
Hari berganti bulan. Bulan berganti semester. Tuan Ed terus membimbing Suvan. Memeberi semangat. Dosen yang paling disayangi Suvan. Setelah menyelesaikan semua mata kuliah, Suvan berhasil lulus. Nilai A+ untuk jurnalistik foto.
“Kau melakuakannya dengan baik Suvan” kata Tua Ed.”Terima kasih Tuan Ed, semua ini berkat anda. Anda banyak memberikan masukan dan nasehat pada saya”
“ Hasil kerja mu sangat bagus. kamu tahu. Jepretanmu yang kamu kirim ke redaksi-redaksi. Kabarnya foto mu mendapat penghargaan jurnalistik. Apa yang akan kamu lakukan setelah mendapatkan gelar in?”Kata Tuan Ed ”Terima kasih Tuan Ed. Begitulah. Saya akan terus bekerja di jurnalis fotografi ini. Itu cita-cita saya.”
“Selalu ingat Suvan, bekerjalah dengan hati” kata Tuan Ed sambil mengeluarkan sesuatu dari tas yang dibawanya. Sebuah kamera baru. “Ini untuk mu Suvan.Kau tidak akan bisa mencapai cita-cita mu jika kamera yang kau pakai seperti itu” Tuan Ed melirik ke kamera Suvan yang di kalungkannya ke leher. “Terima kasih banyak Tuann Ed” kata Suvan sambil memeluk Tuan Ed. Matanya berkaca-kaca.Terharu.
Tuan Ed menepuk pundak Suvan dan berjalan meninggalkannya. Suvan pun berbalik, berjalan menuju jalan raya. Lalu…
Sebuah mobil suv menabrak Suvan dari arah samping. Suvan terpental. Kepala belakangnya terbentur jalan. Kamera terpental jatuh. Retak. Tuan Ed terkejut. Lansung berlari ke arah Suvan. Berusaha menolong. Tuan Ed merangkul kepala Suvan di pelukannya.
Semua hitam. Semua gelap. Hanya terdengar raungan serine ambulans dan teriakan orang-orang. Semua hitam. Semua gelap.
Suvan tertidur di rumah sakit. Dia mengalami pendarahan yang cukup banyak. Kepalanya terbentur cukup keras sehngga banyak balutan. Disampingnya, Tuan Ed terduduk kaku. Matanya merah. Dia sangat mencemaskan Suvan.
Beberapa hari kemudian, Suvan mulai sadar dari tidur panjangnya. “Suvan? Kamu sudah sadar nak?” Tuan Ed bergegas menghampiri. Suvan meringis kesakitan “Apa? Siapa?”. “Ini saya, Tuan Ed” kata tuan Ed menimpali. “Aku tidak bisa melihat apa pun? Kenapa aku? Ada apa ini? Tuan Ed, Andakah itu? Aku tidak bisa melihat apa-apa? Kenapa ini?” Suvan berkata terbata-bata. Tuan Ed cemas. Dia tak sanggup mengatakan hal yang sebenarnya kepada Suvan. Bahwa dia kehilangan penglihatannya karena kecelakaan itu. Kepala belakangnya yang terbentur menyebabkan saraf penglihatannya putus. Tuan Ed sama sekali tak sanggup. Tapi, dia harus tetap memberi tahunya.
“Maafkan aku Suvan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu kehilangan penglihatan mu karena kecelakaan itu” Tuan Ed menunuduk merangkul Suvan.
“TIDAK! Tidak mungkin” Suvan menangis, memberontak, berusaha melepaskan rangkulan Tuan Ed. “Tenanglah! Kamu masih dalam keadaan lemah”
“Tidak! Bagaimana aku bisa tenang jika penglihatan ku di ambil? Aku tidak akan bisa lagi mencapai cita-citaku. Aku tidak bisa lagi…” Suvan menangis sedih. Kata-katanya terhenti. Takut membayangkan apa yang akan dilakukannya nanti. Tuan Ed merangkul Suvan dengan penuh kasih sayang.
Semenjak kecelakaan itu, Suvan berebeda dari biasanya. Dia tidak lagi memiliki semangat. Hanya diam. Hitam yang menyelimuti matanya membuatnya murung dan sering bersedih. Tuan Ed sering berkunjung ke rumah Suvan. Dia sedih melihat keadaan Suvan yang seperti ini.
“Suvan mengapa kamu berubah seperti ini? Ini tidak seperti Suvan yang ku kenal. Kamu harus tetap menjalankan hidup” Kata Tuan Ed. "Buat apa? Aku sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi”
“Tapi kamu masih memiliki cita-cita Van? Kau lupa dengan itu?”
“Bagaimana aku bisa? Aku sudah tidak punya penglihatan lagi. Aku tidak bisa…” Suvan menangis tersedu.” Kau harus tetap mencapai tujuanmu itu, cita-cita mu”
Tuan Ed mengeluarkan Kamera yang diberikannya kepada Suvan waktu itu. “Ini, Sudah aku perbaiki” Tuan Ed meletakan tangan Suvan pada kamera yang di bawanya tersebut. Suvan hanya terdiam tanpa reaksi. Masih menangis.

Februari berganti desember. Tuan Ed terus memberi semangat terhadap Suvan. Memberikan dorongan untuk terus megejar cita-cita. Tuan Ed megajarkan bagaimana hidup. Terus menggapai cita-cita, walaupun berbagai kekurangan ada di dalam diri.”Ingat Suvan, segala sesuatu itu harus dari hati, jangan biarkan hati mu rusak oleh kekuranganmu.” Kata Tuan Ed setiap waktu.
Kegigihan Tuan Ed mendapatkan hasil. Suvan sudah mulai menunjukan semagat lagi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk menggunakan kamera. Walaupun cuman hitam yang bisa dilihatnya tapi, Tuan Ed terus menyemagati. “ Ada hal lain selain penglihatan dalam jurnalis foto, Suvan. Hati” Suvan megangguk. “Biarkan hati bekerja untukmu, rasakan segala sesuatu dengan indra mu yang lain. Karena tuhan menciptakan lima indra untuk kita. Jika kita kehilangan yang satu, masih ada indra lainnya yang kau punya. Pikirkan itu”
Suvan terus berusaha kuat, bekerja keras melawan kekurangannya. Melawan hitam. Sering dia megirim hasil jepretannya ke media. Hari demi hari dilaluinya dengan berlatih. Tidak berdiam diri meratapi nasibnya. Berlatih dan yakin, dia akan mencapai cita-citanya. Merubah hitam menjadi putih.
Akhirnya, Suvan berhasil mejadi dirinya kembali. Kebutaan bukan halangan baginya untuk berkarya. Foto jurnalistik yang dihasilkannya sangat bagus dan sering mendapat pujian. “Sebuah foto dari fotografer tuna netra”. Begitulah media dan orang-orang menyebutnya. Dia menjadi orang pertama, tuna netra, yang mendapatkan penghargaan di dunia jurnalis foto.
“ Kita tidak hanya melihat dengan mata, tapi dengan hati. Hati sesungguhnya penglihatan yang sangat jelas bagi kita. Terima kasih Tuan Ed” kata Suvan pada acara penghargaan tersebut.
***
35 tahun berlalu. Tangan Suvan masih memegang tangan Tuan Ed. Suvan menyeka air matanya.
“Tuan Ed, anda telah berjasa besar bagi hidup saya. Terima kasih atas segalanya. Kamera ini...” air mata Suvan pun kembali jatuh. Meringis. Menangis.
Suvan beranjak dari duduknya. Berdiri. Memandang dengan penuh kasih sayang pada Tuan Ed dan berbalik menjauh kembali pergi.
“Su`an…!!” Satu kata keluar dari mulut Tuan Ed. Suvan berbalik, terkejut. Memandang Tuan Ed dengan senyum. Senyum kasih sayang.

____________________________________________________________________________

Listen : Nina Simone - Black is the Color of My True Love Hair